
Kenapa Film Bertema Rumah Tangga atau Percintaan Lebih Laku Ketimbang SciFi di Indonesia?
Novemberian.com – Dilansir dari https://nontonfilmindonesia.id, film bertema rumah tangga dan percintaan terbukti lebih disukai oleh penonton Indonesia dibandingkan dengan genre fiksi ilmiah atau SciFi. Fenomena ini mencerminkan preferensi masyarakat yang cenderung memilih tayangan yang dekat dengan realitas kehidupan sehari-hari.
Baca Juga: Ulasan Film Ipar Adalah Maut
Industri perfilman nasional pun memanfaatkan kecenderungan ini dengan terus memproduksi film-film bergenre drama romantis dan keluarga.
Berbagai judul film lokal yang mengangkat tema rumah tangga, konflik batin, dan percintaan antar tokoh berhasil menembus box office dan menuai respons positif dari penonton.
Film seperti Ajari Aku Islam, Tersanjung the Movie, hingga serial Layangan Putus menjadi contoh nyata betapa kuatnya daya tarik tema-tema ini bagi pasar domestik.
Alasan utama di balik popularitas film bertema rumah tangga dan cinta adalah karena kedekatannya dengan realitas penonton.
Cerita-cerita yang diangkat sering kali merefleksikan peristiwa yang umum terjadi dalam kehidupan masyarakat, seperti pernikahan, perselingkuhan, konflik keluarga, atau perjalanan asmara yang rumit.
Kedekatan emosional ini membuat penonton merasa lebih terhubung dengan karakter dan cerita yang ditampilkan di layar.
Penonton Indonesia dikenal memiliki ketertarikan tinggi terhadap narasi yang menyentuh sisi emosional dan personal.
Emosi yang meledak, konflik dalam hubungan, hingga resolusi yang dramatis membuat pengalaman menonton terasa lebih bermakna.
Sebaliknya, genre SciFi yang mengandalkan imajinasi, sains, dan dunia futuristik belum sepenuhnya menjadi daya tarik utama di pasar film lokal.
Kendala lainnya terletak pada aspek budaya menonton dan daya adaptasi terhadap genre yang tidak membumi.
Film SciFi sering kali membutuhkan pemahaman konteks ilmiah atau logika cerita yang jauh dari keseharian penonton.
Hal ini menyebabkan keterlibatan emosional penonton menjadi lebih rendah dibandingkan dengan drama rumah tangga atau romansa.
Selain itu, faktor biaya produksi juga turut memengaruhi sedikitnya film SciFi lokal yang diproduksi.
Genre ini menuntut efek visual berkualitas tinggi, desain set futuristik, dan teknologi canggih untuk menciptakan suasana yang mendukung cerita.
Padahal, banyak rumah produksi di Indonesia masih bergantung pada anggaran terbatas, sehingga memilih genre yang lebih sederhana namun efektif menjangkau penonton.
Sutradara dan penulis skenario di Indonesia pun lebih banyak memilih untuk menggali cerita dari kehidupan nyata yang dapat dikembangkan menjadi narasi kuat.
Banyak di antaranya yang mengadaptasi kisah-kisah viral dari media sosial atau kisah nyata yang berhubungan dengan nilai-nilai lokal dan budaya.
Hal ini membuat cerita terasa lebih relevan dan mendalam.
Platform digital seperti TikTok, Instagram, dan YouTube juga berperan dalam membentuk selera pasar.
Konten viral yang berisi kisah cinta, masalah rumah tangga, hingga kisah perpisahan sering kali dijadikan inspirasi untuk pengembangan cerita film atau serial.
Dengan mengangkat narasi yang sudah memiliki basis emosi dari publik, film-film bertema ini punya peluang besar untuk sukses.
Sementara itu, upaya memperkenalkan genre SciFi ke pasar Indonesia sebenarnya telah dilakukan beberapa sineas lokal.
Beberapa film seperti Foxtrot Six, Tengkorak, hingga 2067 yang sebagian besar merupakan produksi internasional atau kerja sama, mencoba membangun pasar SciFi di Indonesia.
Namun demikian, respons pasar masih belum sekuat genre drama dan romansa.
Pemerhati perfilman menyebut bahwa kunci keberhasilan genre SciFi di Indonesia terletak pada kemampuan sineas untuk menggabungkan unsur teknologi dan sains dengan nilai-nilai lokal yang dapat dipahami masyarakat.
Tanpa koneksi emosional dan budaya yang kuat, film SciFi cenderung menjadi tontonan yang “jauh” dari kenyataan penonton.
Industri perfilman nasional ke depan ditantang untuk mengembangkan keberagaman genre dengan pendekatan yang lebih inklusif.
Genre SciFi tetap memiliki potensi untuk tumbuh, namun membutuhkan strategi distribusi, promosi, serta pendekatan cerita yang lebih akrab dengan kebiasaan menonton orang Indonesia.
Dengan meningkatnya akses terhadap teknologi dan referensi film global, generasi muda Indonesia mulai membuka diri terhadap genre-genre baru.
Namun, untuk saat ini, kisah cinta dan drama rumah tangga masih menjadi raja dalam perfilman lokal.
Kehangatan emosi, kedekatan cerita dengan realitas, serta biaya produksi yang relatif efisien menjadikan genre ini sebagai pilihan aman dan menguntungkan bagi para produser film.
Sementara SciFi harus menunggu giliran, pelan tapi pasti menembus pasar dengan konten yang relevan, kreatif, dan menggugah rasa ingin tahu penonton Indonesia.***